Wednesday, March 29, 2017

    pidato-akhlak yang mulia



    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ اَلحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمْ, و أَرْسَلَ رُسُلُهُ لِيُتِمَّ أخْلَاقِ الْكَرِيمْ, وَ أَشْهَدُ أنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّه و أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهْ, اللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٌ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ مَنْ تَبِعَهُمْ بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ القِيَامَةْ, قالَ اللهُ تَعَال فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمْ: وَ لَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَ لَا السَّيِّئَةْ ... أمَّا بَعْدُ 
    Yang terhormat Bapak dan Ibu Guru... 
    Yang terhormat Dewan Juri Lomba Cipta Teks Khitobah... 
    Juga Hadirin dan Hadirat yang kami hormati... 

    Pertama dan yang paling utama marilah kita senantiasa bersyukur atas nikmat Allah SWT sehingga kita masih bisa menjalankan segala aktifitas dengan lancar dan juga masih bisa bertemu dengan keluarga, sahabat, saudara, dan tetangga untuk selalu mengajak kepada kebaikan. 

    Shalawat serta salam marilah selalu kita sanjungkan kepada Nabi terakhir di akhir zaman, Muhammad SAW yang telah mengajarkan kita untuk selalu berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan. 

    Bapak dan Ibu yang dirahmati Allah... 

    Dalam kesempatan kali ini ijinkanlah saya untuk menyampaikan pidato tentang Akhlak yang mulia. 

    Setiap hari setiap waktu di sekolah dan juga di rumah, kita selalu diajarkan untuk berbuat kebaikan. Kita biasa diajarkan melalui nasehat-nasehat, cerita, kisah, dan juga pelajaran yang sebagian tidak bisa ditemukan di bangku sekolah. Ya, belajar agar mempunyai akhlak yang mulia tidak akan cukup jika hanya belajar selama satu jam dua jam seperti matematika, tidak cukup sehari dua hari seperti kemah pramuka, dan tidak cukup setahun dua tahun seperti sekolah TK. Akan tetapi, belajar agar mempunyai akhlak yang mulia, haruslah dilakukan selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 12 bulan setahun, dan jangan berhenti kecuali hilang nafas dari badan. 

    Bapak dan Ibu yang berbahagia... 

    Mengapa kita perlu belajar akhlak? Bukankah nanti tidak akan ada tes pelajaran akhlak di Ujian Nasional? Karena Rasulullah SAW pernah bersabda:

     الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَ الإثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَ كَرِهْتَ أنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهْ 

    “kebaikan itu adalah akhlak yang baik dan dosa atau kejelekan itu adalah apa yang meragukan hatimu dan engkau takut jika hal itu diketahui oleh orang lain.” (HR. Muslim)

    Sebenarnya agama islam menginginkan akhlak yang baik itu selalu ada pada diri pribadi umatnya dan perbuatan yang buruk itu hendaknya di buang jauh-jauh dari kehidupan keseharian kita. Dan juga inti dari ajaran agama kita adalah menjadikan akhlak yang baik sebagai sifat kita.

    Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah berkata “Agama secara keseluruhan adalah akhlak. Maka barangsiapa yang akhlaknya lebih baik darimu, berarti agamanya pun lebih baik darimu.”

     Hadirin dan Hadirat yang kami hormati...

    Salah satu akhlak mulia yang telah dicontohkan oleh Rasulullah adalah sifat jujur. Hakikatnya jujur adalah mengungkapkan kebenaran tanpa mengurangi ataupun menambahi. Sedangkan kebalikan dari sifat jujur adalah bohong, yaitu dengan mengungkapkan yang tidak sebenarnya atau dengan membuat cerita yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Satu buah kejujuran akan menumbuhkan kepercayaan orang lain kepada kita.

    Sebagaimana Nabi Muhammad SAW pernah diberi gelar Al-Amin yang artinya dapat dipercaya, bahkan sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Sedangkan satu buah kebohongan akan mengantarkan kita pada kebohongan yang lain sehingga menambah dosa kita. Sebagaimana ungkapan “hanya yang tidak dilakukan, yang bisa disembunyikan’’ saya ulangi lagi “hanya yang tidak dilakukan, yang bisa disembunyikan”.

    Jadi pada dasarnya kita tidak bisa menyembunyikan perbuatan baik ataupun buruk yang telah kita lakukan. Sebagaimana yang dikatakan simbah “becik ketitik, ala ketara”

    Jadi Bapak dan Ibu yang saya hormati...

    Akhlak yang mulia akan mengantarkan kita kepada kebaikan yang lain. Dan juga sebaliknya keburukan juga akan mengantarkan kepada keburukan yang lain. Jangan sampai kita berbicara ini itu seperti pejabat mau naik pangkat jadi wakil rakyat tetapi setelah jadi wakil mereka lupa dengan orang-orang yang diwakili. Ibarat orang yang lomba panjat pinang ketika di sampai diatas bersama puluhan hadiah yang bergelantungan dia lupa dengan empat lima orang yang sudah dia injak dibawahnya.

    Jika kita jujur maka orang lain akan percaya kepada kita, tetapi jika kita sering berbohong maka orang lain tidak akan pernah percaya meskipun suatu ketika kita berkata benar. Karena jika seseorang tidak bisa dipercaya dalam hal-hal kecil, maka dia juga tidak bisa dipercaya dalam hal yang besar.

    Dalam hal ini Albert Einstein pernah berkata “Whoever is careless with the truth in small matters cannot be trusted with important matters.” Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa berbuat kebaikan karena sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan nantinya akan mendapat balasannya dan juga keburukan sekecil apapun juga ada balasannya

     فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهْ, وَ مَنْ يَعْمَل مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرَّا يَرَهْ 

    Akhir kata ada ubi ada talas, ada budi ada balas. Nonton tari tujuh belasan, hanya juri yang dapat jajan. Terima kasih atas segala perhatian dan mohon maaf atas segala kekurangan, semoga apa yang telah kita usahakan mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi kita dan apa yang kita tinggalkan merupakan keburukan bagi kita, aamiin yaa rabbal aalamiin

     وَ بِاللهِ تَوْفِيقْ وَ الْهِدَيَةْ وَ الرِّضَى وَ الْإنَيَةْ السَّلَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

    Tuesday, March 28, 2017

    khutbah-rugi



    الْحَمْدُ لِلَّهْ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَهْدِيْهْ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئاتِ أعْمَالِنا، مَن يَهْدِهِ الله فَلا مُضِلَّ لَه ومن يُضْلل فلن تجد له ولياً مرشداً. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
    اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أمَّا بَعْدُ
    فَيَاعِبَادَ الله أُوْصِيْكُم وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْن
    يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
    يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا
    Jamaah Jum’ah rahimakumullah
    Marilah kita selalu meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sholawat serta salam marilah selalu kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW dan marilah kita selalu berusaha untuk meneladani sunnah-sunnah beliau.
    وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
    Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).
    Jamaah jumah rahimakumullah
    Satu nikmat dari Allah yang sangat besar bagi kita adalah waktu, atau umur. Hingga kini kita masih bisa hadir di majlis yang mulia ini untuk beribadah kepada Allah SWT. sebagaimana kita lihat disekeliling kita, orang-orang datang dan pergi, ada manusia baru yang lahir datang ke dunia, dan ada generasi lama yang pergi meninggalkan dunia. Belum lama juga KH. Hasyim Muzadi telah meningal dunia. Jatah hidup kita di dunia tidak lama. Oleh karena itu, agar kita tetap waspada, marilah kita selalu mengingat firman allah dalam surah al ashr tersebut.
    Kemudian, siapa sebenarnya yang rugi? Apakah mereka yang berdagang di pasar kemudian tidak mendapatkan laba?. Apakah mereka yang sudah belajar satu buku kemudian tidak bisa mengerjakan 10 soal ujian?. Apakah mereka yang kehilangan harta bendanya? Kehilangan pekerjaannya? Kehilangan keluarganya?
    Jamaah jumah rahimakumullah
    Menurut Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah. Kerugian itu ada dua macam:
    Yang pertama, kerugian mutlak yaitu orang yang merugi di dunia dan akhirat. Ia luput dari nikmat dan mendapat siksa di neraka jahim.
    Yang kedua, kerugian dari sebagian sisi, bukan yang lainnya. Allah mengglobalkan kerugian pada setiap manusia, atau dengan kata lain semua orang itu rugi, orang melakukan apapun di dunia itu rugi, kecuali orang yang punya empat sifat: (1) iman, (2) beramal sholeh, (3) saling menasehati dalam kebenaran, (4) saling menasehati dalam kesabaran.

    1- Mereka yang Memiliki Iman

    Yang dimaksud dengan orang yang selamat dari kerugian yang pertama adalah yang memiliki iman. Syaikh As Sa’di menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah perintah beriman kepada Allah dan beriman kepada-Nya tidak diperoleh kecuali dengan ilmu. Iman itu diperoleh dari ilmu. Sebagaimana dikatakan “barang siapa yang ingin mendapatkan dunia, maka harus dengan ilmu, barang siapa yang ingin mendapatkan akhirat juga dengan ilmu, dan siapa yang ingin keduanya maka juga harus dengan ilmu”
    Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata bahwa iman di dalamnya harus terdapat perkataan, amalan dan keyakinan. Keyakinan (i’tiqod) inilah ilmu. Karena ilmu berasal dari hati dan akal. Jadi orang yang berilmu jelas selamat dari kerugian.

    2- Mereka yang Beramal Sholeh

    Yang dimaksud di sini adalah yang melakukan seluruh kebaikan yang lahir maupun yang batin, yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, yang wajib maupun yang sunnah.

    3- Mereka yang Saling Menasehati dalam Kebenaran

    Yang dimaksud adalah saling menasehati dalam dua hal yang disebutkan sebelumnya. Mereka saling menasehati, memotivasi, dan mendorong untuk beriman dan melakukan amalan sholeh. Bukan saling memberi jawaban kepada teman ketika ujian. Bukankah tujuan dari ujian yang sebenarnya adalah untuk membuat diri kita bernilai, bukan untuk mencari nilai. Jangan hanya belajar untuk ujian, tetapi jadikan ujian sebagai pembelajaran
    الَيْسَ بِالْإمْتِحَانُ يُكْرَمُ المَرْءُ أوْ يُهَانُ
    “bukankah dengan ujian itu, seseorang bisa menjadi mulia ataupun menjadi hina”

    4- Mereka yang Saling Menasehati dalam Kesabaran

    Yaitu saling menasehati untuk bersabar dalam ketaatan kepada Allah dan menjauhi maksiat, juga sabar dalam menghadapi takdir Allah yang dirasa menyakitkan. Karena sabar itu ada tiga macam: (1) sabar dalam melakukan ketaatan, (2) sabar dalam menjauhi maksiat, (3) sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyenangkan atau menyakitkan.

    Jamaah Jumah rahimakumullah

    Akhirnya, marilah kita selalu berusaha untuk meningkatkan taqwa kita kepada Allah dengan keempat hal tersebut. Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Dua hal yang pertama (iman dan amal sholeh) untuk menyempurnakan diri manusia. Sedangkan dua hal berikutnya untuk menyempurnakan orang lain. Seorang manusia menggapai kesempurnaan jika melakukan empat hal ini. Itulah manusia yang dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keberuntungan yang besar.”
    Kita bisa belajar dari kunjungan Raja Salman ke Indonesia tempo hari. Mengapa saudi yang wilayahnya tidak seluas Indonesia, yang tanahnya kering dan gersang, penduduknya sedikit, peringkat militernya di angka 24 sedangkan Indonesia ada di peringkat 14 sedunia. Akan tetapi mereka bisa berinvestasi di Indonesia dengan nilai yang fantastis.
    Ada satu perbedaan yang mendasar adalah yang kita lakukan ketika adzan berkumandang. Sesekali mampirlah ke saudi dan lihatlah pasar ketika waktu sholat, semua pedagang menutup tokonya. Datanglah ke supermarket 30 menit sebelum waktu sholat, agar disuruh datang lagi nanti setelah sholat. Dan lihatlah masjid penuh jamaah seperti jamaah sholat jumat.
    Semoga sebagai wujud pengamalan ilmu kita. Kita selalu bisa berusaha untuk sholat berjamaah dimasjid, kemudian mengajak keluarga, kerabat, dan teman. Dan bersama mereka secara konsisten menjalankan perintah allah yang lain.
    Karena, Seandainya Allah menjadikan hujjah hanya dengan surat Al ‘Ashr ini, maka itu sudah menjadikan hujjah kuat pada manusia. Jadi manusia semuanya berada dalam kerugian kecuali yang memiliki empat sifat: (1) berilmu, yakni beriman (2) beramal sholeh, (3) berdakwah, dan (4) bersabar. Sebagaimana Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata, “Seandainya Allah menjadikan surat ini sebagai hujjah pada hamba-Nya, maka itu sudah mencukupi mereka.”


    باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. أقول قولي هذا وأستغفرالله العظيم لي ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات. فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.







    Khutbah kedua
    الحَمْدُ للهِ الَّذِي جَعَلَ التَّقْوَى لِبَاسُ الصَّالِحِيْنْ، أشْهَدُ أنْ لَا إلَهَ إلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَه، لَهُ المَالِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْن،  وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه،  اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلهِ وَصَحْبِهِ أجْمَعِيْن. أما بعد،
    فَيَا أيُّهَا النَّاسْ اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَتَمْسِكُوْا بِمَا شَرَعَ اللهُ لَكُمْ ، اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدْ وَعَلَى أنْبِيَائِكَ وَرَسُلِكَ وَأهْلِ طَاعَتِكَ أجْمَعِيْنْ وَاجْعَلْنَا مِنْهُمْ يَا أرْحَمَ الرَّاحِمِيْن.
    اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُؤمِنَاتْ وَالْمُسْلِمِيَنَ وَالمُسْلِمَاتْ الأحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأمْوَاتْ إنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتْ وَيَا قَاضِيَ الحَاجَاتْ، وَغَافِرُ الذُّنُوْبَ وَالْخَطِيْئَاتْ بِرَحْمَتِكَ يَا أرْحَمَ الرَّاحِمِيْنْ.
    رَبَّنَا إنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيَا يُنَادِيْ لِلْإيْمَانْ أنْ آمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا . رَبَّنَا فَاغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأبْرَارْ. اللّهُمَّ اجْعَلْ بِلَدَنَا وَجَمِيْعِ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ  آمِنًا مُطْمَئِنَّا وَارْزُقْ أهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ  مِنْهُمْ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأخِرْ. اللَهُمَّ انْصُرِ الْإسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنْ وَأهْلَكَ الْكُفْرَةَ وَالمُشْرِكِيْنْ وَدَمِّرْ أعْدَاءَكَ أعْدَاءَ الدِّيْنْ.
    اللَّهُمَّ يَا عَليمُ عَلِّمْنَا وَفَهِّمْنَا اللهُمَّ افْتَحْ عُقُوْلَنَا فُتُوْحَ العَارِفِيْن وَافْهَمْنَا فَهْمًا النَّبِيِّنْ وَاجْعَلْنَا أئمَّة للْمُؤمِنِين
    اللّهُمَّ إنّنَا نَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ ونَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلَ وَنَعُذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالبُخْلِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ
    رَبَّنَا أوزِعْنَا أنْ نَشْكُرَ نِعْمَتَكَ التي أنْعَمْتَ عَلَيْنَا وَعَلَى وَالِدَيْنَا وَأن نَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَه وَ أصْلِحْ لَنَا فِي ذُرِّيَّتِنَا. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارْ. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إنَّكَ أنْتَ السَّمِيْعُ العَلِيْمْ وَتُبْ عَلَيْنَا إنَّكَ أنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمْ.
    عِبَادَ الله إنَّ الله يَأمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانْ وَإيْتَاءِ ذِيْ القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَخْشَاءِ والمُنْكَرِ وَالْبَغِي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْن.
    أقيموا الصلاة.

    Monday, April 25, 2016

    Pernahkah ada di suatu masa ketika segelintir orang menguasai sebegitu banyak kekayaan?

    Hasil penelitian terkini dari oxfam menunjukkan bahwa ketidak setaraan pendapatan telah mencapai angka global yang fantastis, bahkan melebihi prediksi mereka pada tahun lalu. Figur dibalik angka ini cukup mengejutkan – hanya 62 orang yang sekarang menguasai kekayaan setara setengah dasar kemanusiaan, dibandingkan pada tahun 2014 dengan jumlah 80 orang, dan 388 pada 2010. Hal ini muncul bukan hanya karena krisis finansial yang telah di skenario oleh kalangan elit global, tetapi bahwa keberuntungan mereka telah ditingkatkan secara kolektif.

    Rasa keberatan kami pada ke-tidak setara-an, dari catatan penelitian, bukan karena keinginan untuk meningkatkan standar kehidupan materi kami sendiri. Munculnya ke-tidak setara-an adalah salah satu tanda yang paling meyakinkan dari gagalnya pertumbuhan ekonomi dalam membuat segala hal menjadi lebih baik untuk kita. Penelusuran kami menunjukkan tidak adanya pembagian penghasilan di bawah 50% sejak 2010 yang berarti bahwa bahkan pemerintah dari seluruh dunia telah bergegas untuk menghebohkan peran mereka dalam “pemulihan” global, yang hadiahnya telah menyebar secara selektif.

    Satu hal yang bodoh untuk pura-pura bahwa ke-tidak setara-an kekayaan ini adalah produk dari kapitalisme liberal sejak ratusan tahun yang lalu. Mengendus sepanjang sejarah yang terekam adalah contoh dari kekayaan yang luar biasa yang berasal dari rampasan kerajaan dan peperangan – raja roma caesar augustus diperkirakan telah menguasai kekayaan setara 4,6 triliun dolar – seperlima dari total kekayaan kerajaan. Orang terkaya sepanjang sejarah, menurut majalah time adalah mansa musa, raja dari timbuktu – yang memimpin dari tahun 1280 sampai 1337 ketika kerajaannya menjadi produsen emas terbesar sedunia. Kekayaannya diluar perhitungan: “lebih kaya dari yang dapat dijelaskan siapapun”

    Kenyataan sejarah menunjukkan betapa pentingnya militer dan pasukan perang untuk mengumpulkan kekayaan, dari tanah kekuasaan Genghis khan pada abad ke 13 (salah satu kerajaan terbesar sepanjang sejarah), sampai kaisar china shenzong, yang memiliki hingga 30% dari total pendapatan kerajaan ketika puncak kejayaannya pada abad ke 11.

    Akumulasi kekayaan pada masyarakat non kapitalis sering diprediksikan pada kejadian penyitaan paksa – yaitu sebuah proses yang dikenal sebagai “akumulasi primitif”. Instansi yang paling terkenal adalah pergerakan perluasan inggris pada abad ke 18 dan 19, yang menghaluskan jalan perluasan menuju tanah jajahan.

    Belajar serakah

    Tetapi apakah ke-tidak setara-an ini adalah satu hal yang tak terelakkan pada masyarakat kita? Pada akhir abad ke 19, antropologis evolusioner seperti henry maine dan lewis morgan menyarankan bahwa masyarakat pada masanya telah berkembang dari bentuk yang sederhana yaitu masyarakat yang berdasarkan kesukuan, menjadi masyarakat yang lebih komplek yaitu yang berdasarkan pada kelas sosial. Dan pada tahun 2009, elinor ostrom telah mendapat hadiah nobel karena jasanya pada sistem masyarakat “common-pool” – yaitu masyarakat yang sumber dayanya ditampung untuk kebaikan masyarakat itu sendiri, yang sejatinya agak ganjil dengan konsep kepemilikan pribadi modern.

    Hasil kerja ostrom menunjukkan bahwa, ketika kondisi sedang menguntungkan, sistem ini, seperti perikanan, sistem irigasi, penggembalaan ternak bersama dan perhutanan, telah berkembang – bahkan mungkin lebih baik dari sistem sejenis yang diupayakan dan diorganisir secara bertingkat. Diskusi ini masih berlanjur hingga kini secara apakah model organisasi sosial ini telah menyebar melintasi sejarah kehidupan manusia dan apakah bentuk ke-tidak sama-an masyarakat modern kita merupakan hasil perkembangan dari dasar egaliter.

    Keputusan ini juga mempertimbangkan pertanyaan bahwa apakah masyarakat kita selalu kapitalis sejak dulu. Sementara banyak orang berpendapat bahwa bagian tertentu dari masyarakat kapitalis telah ada pada seluruh sejarah manusia (pernyataan terkenal dari adam smith pada kecenderungan manusia kepada “truk, barter, dan perdagangan”) institusi yang ketika bersama akan membuat kapitalisme modern menjadi bukan kapitalis.

    Pada masyarakat feodal ketika abad pertengahan contohnya, kemampuan tiap orang untuk mengumpulkan harta kekayaan sangat dipaksakan oleh jumlah benda yang bisa mereka miliki. Sementara ada bentuk hutang dan sistem keuangan yang telah berkembang, yang meniadakan batas mutlak yang dapat seseorang kumpulkan yang biasanya tergantung pada paksaan langsung

    Uang kertas 

    Sekarang ini, akumulasi kekayaan sudah tidak hanya bergantung pada jumlah harta benda, atau klaim terhadap aset riil seperti properti, alat produksi seperti bangunan industri dan infrastruktur – atau bahkan manusia (seperti ketika di amerika masih berlaku sistem perbudakan, jumlah budak yang dimiliki menunjukkan ukuran kekayaan seseorang).

    Ahli ekonomi thomas piketty menunjukkan bahwa banyak kekayaan pada literatur klasik yang kelihatannya berasal dari properti sewaan yang dipegang sejumlah orang. Tetapi akhir-akhir ini, sistem pecahan cadangan perbankan kita menunjukkan bahwa banyak dari suplai keuangan tidak ada pada bentuk fisik. Uang kertas hanyalah bagian kecil dari neraca perbankan, dengan kewajiban beban yang berbentuk hutang yang menghasilkan banyak keuntungan.

    Salah satu temuan terhebat pada akhir abad ini, dan bahkan salah satu kunci terkait penyebab naiknya ke-tidak setara-an yang ditemukan oleh oxfam, adalah pertumbuhan industri aset tak berwujud yang dapat diperdagangkan dalam bentuk instrumen finansial. Bahkan, deregulasi pada industri finansial merupakan proses yang paling menonjol dan berpengaruh dalam naiknya ke-tidak setara-an beberapa tahun belakangan.

    Masa setelah tekanan berat yang terjadi pada 1930an juga salah satu pembentukan ulang aturan. Aksi glass-steagal amerika pada 1933 menjaga perbankan komersil dan investasi agar tetap terpisah, sementara kontrol yang ketat tetap diupayakan pada transaksi asing di banyak negara eropa.

    Tetapi selama akhir abad 20 banyak hal diatas yang telah memudar. Sebelum krisis finansial, peremajaan hipotek yang beresiko tinggi dan perdagangan berikutnya pada pasar finansial, menawarkan kesempatan emas bagi investor kelas kakap untuk mendapatkan keuntungan ketika membatasi rata-rata resiko kepada pemilik rumah. Kemungkinannya kecil sekarang ini untuk melebihi capaian pasar investasi, dari hipotek hingga emisi karbon, sampai spekulasi performa perusahaan di masa mendatang. Benar atau tidak dunia pernah se-tidak setara seperti sebelumnya, setidaknya kita bisa mengatakan bahwa kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan sekarang ini sangat berbeda jauh dari masa lampau.

    Waktunya mengambil alih?

    Bagian dari masalah dalam mengadakan ketepatan apakah dunia pernah se-tidak setara adalah dengan cara mengurangi datanya. Perkiraan paling bagus berasal dari penelitian penghasilan terbesar sedunia, yang paling awal adalah di inggris pada 1918. Dengan dasar ini setidaknya -dimana data bisa dibandingkan antar negara dan dimana cara perhitungan disetarakan – kita dapat mengatakan bahwa banyak hal hampir se-tidak setara ini sejak sebelum perang dunia ke dua.

    Tetapi harusnya kita tidak membandingkan dasar nilai itu sendiri. Selebihnya, kita hampir dapat beralasan bahwa kehidupan dibawah paksaan langsung feodalisme, atau kekayaan yang dihasilkan melalui eksploitasi sumber daya alam dengan kolonisasi kerajaan tentu lebih disukai. Tetapi kilas balik sejarah manusia bertentangan dengan mitos umum tentang masyarakat yang kita tinggali sekarang. Milik kita bukanlah satu-satunya bentuk sejarah dari organisasi sosial, tidak juga urutan arus ekonomi yang ada diluar genggaman kita.

    Jika kita dapat mengenali dengan jelas bagaimana keputusan diambil oleh pemerintah seputar perpajakan atau regulasi finansial, contohnya, telah menjadi wadah bagi kemunculan ke-tidak setara-an kekayaan, kemudian kita dapat lebih yakin bahwa masyarakat mempunyai potensi untuk mengubah hal ini. Dengan mengetahui faktor yang berlanjut untuk mengatur ke-tidak setara-an sekarang ini – dan mitos yang mengklaim bahwa dunia pasti harus menjadi seperti ini – yang berarti kita juga dapat meragukan hal ini.

    source

    Ingin jadi terkenal? ikuti beberapa aturan moral ringan berikut!!!

    Bayangkan jika ada sebuah troli besar meluncur dengan cepat dan tanpa kendali ke arah lima orang. Dan kamu berada diatas jembatan tepat disamping orang yang berbadan besar. Jika kamu mendorongnya ke depan tepat kearah laju troli, maka tubuh besarnya akan dapat menghentikan troli tersebut sebelum mengenai kelima orang tersebut. Dia akan mati, tetapi lima yang lainnya akan selamat. Pertanyaannya, haruskah kamu mendorong orang tersebut ke jembatan? 

    Sebelum kamu mengambil keputusan, kamu perlu tahu bahwa popularitasmu tergantung pada keputusan tersebut. Menurut penelitian terbaru kepada lebih dari 2.400 peserta, yang diadakan bersama david pizarro dari cornell university, cara seseorang dalam menjawab “masalah troli” mempunyai pengaruh besar pada seberapa banyak orang yang mempercayaimu. Kita bisa melihat beberapa kemungkinan yang ada. 

    Kamu mungkin bisa berkaya iya; menyelamatkan 5 orang yang berbadan kecil dengan mengorbankan satu orang yang berbadan besar. Dan kamu tidak akan sendiri: kamu membuat keputusan moral bersama dengan “konsekuensialis” dari teori moralitas. Para konsekuensialis percaya bahwa kita harus bertujuan untuk memaksimalkan yang terbaik untuk jumlah orang yang paling banyak, bahkan jika hal ini mengakibatkan sedikit kerugian – contohnya dengan mengorbankan satu orang untuk menyelamatkan lima orang yang lainnya. 

    Di sisi lain, kamu bisa berkata tidak; mengorbankan seseorang itu sudah suatu kesalahan, tanpa mengesampingkan konsekuensi positif apapun. Disini kamu membuat keputusan moral bersama para “deontologis” dari teori moralitas, yang lebih fokus pada aturan moral, hak dan kewajiban. Seperti prinsip “kamu jangan membunuh” dan “perlakukan orang lain seperti kamu ingin diperlakukan oleh mereka” cocok untuk kategori ini. 

    Mana yang kamu pilih? 

    Dari data penelitian, kebanyakan orang menganggap bahwa mengorbankan satu orang dengan mendorongnya ke depan jembatan dan menyelamatkan lima yang lain adalah satu tindakan yang salah. Di satu tingkatan, hal ini masuk akal karena sungguh mengerikan untuk sekedar membayangkan dimana kita mengorbankan satu orang teman untuk satu analisa keuntungan biaya apakah kamu harus dikorbankan untuk kebaikan yang lain. Jadi mengapa kebanyakan orang lebih memilih pendekatan aturan ini daripada moralitas? 

    Beberapa peneliti beralasan bahwa intuisi deontologis muncul dari timbal balik emosional yang “irasional”. Tetapi kiranya ada penjelasan yang lebih mendalam: yang disebut sebagai kekuatan popularitas. Kami mengira bahwa jika seseorang terpaku pada aturan moral yang dianggap sebagai sahabat yang lebih baik, yang mungkin bisa menjelaskan mengapa kebanyakan orang mengambil pandangan deontologis. 

    Diluar masalah evolusi manusia, hal ini dapat dipakai pada salah satu jenis prinsip moral dari seluruh populasi. Jadi daripada merefleksikan pikiran yang irasional ataupun emosional, membuat penilaian moral yang berdasarkan aturan bisa jadi merupakan hal agak terbiasa dalam pikiran kita. 

    Menuju tes 

    Kami menguji hipotesis ini menggunakan beberapa variasi dari “masalah troli” dan menanyakan apakah seseorang yang membuat keputusan penilaian moral deontologis ataupun konsekuensialis dapat dijadikan sebagai sahabat. 

    Selama lebih dari sembilan percobaan, kami menemukan bahwa orang yang mengambil pendekatan deontologis mengalami dilema (menolak untuk mengorbankan orang yang tidak bersalah, meskipun hal ini dapat menciptakan kondisi yang lebih baik) yang terlihat lebih dapat dipercaya daripada yang menganjurkan satu hal yang lebih fleksibel yaitu pendekatan konsekuensialis. 

    Dan tidak hanya kebanyakan orang mengatakan bahwa mereka akan lebih percaya kepada deontologis daripada konsekuensialis – mereka berani taruhan dalam hal ini. Ketika disuruh untuk mempercayakan uang kepada seseorang, peserta menyerahkan lebih banyak uang, dan yakin akan mendapatkannya kembali, ketika membuat persetujuan dengan orang yang menolak untuk mengorbankan satu orang demi menyelamatkan yang lain, dibandingkan dengan seseorang yang memilih untuk memaksimalkan jumlah orang yang bisa diselamatkan. 

    Tidak sesederhana itu 

    Tetapi ini bukan cerita lengkapnya: hanya memilih apakah mengorbankan orang yang tak bersalah atau tidak bukanlah satu-satunya hal yang dipermasalahkan disini. Kami juga menemukan bahwa cara bagaimana keputusan tersebut diambil juga merupakan satu hal yang sangat penting. Seseorang yang telah memilih untuk mengorbankan satu orang demi menyelamatkan lima orang – tetapi menemukan bahwa ini satu keputusan yang berat – lebih dipercayai daripada orang yang menganggap keputusan ini mudah. 

    Dan hal tersebut bukanlah satu masalah dimana seseorang yang menolak untuk mengorbankan orang yang tak bersalah menjadi lebih dipercaya. Dimana orang yang dikorbankan menunjukkan keinginan khusus untuk hidup atau mati, orang akan menolong seseorang yang menghargai keinginan tersebut – bahkan jika harus membunuh. 

    Temuan ini tidak hanya membantu menjelaskan bagaimana kita mendapatkan intuisi moral yang bisa kita lakukan, tetapi juga bagaimana peran penilaian moral di kehidupan. Hasil yang kita dapat bisa membantu menjelaskan mengapa kita sering tertarik kepada pemimpin politik yang membicarakan pesan sederhana yang berdasarkan aturan moral. 

    Sebagai contoh, anggaplah seorang politisi yang mengatakan bahwa seseorang yang bekerja menjadi buruh di luar negri harus dihargai karena mereka sedang belajar untuk mandiri dan menciptakan usaha sendiri nantinya setelah kembali ke tanah air (pendekatan deontologis). Orang seperti ini sepertinya kelihatan lebih bermoral dan dapat dipercaya daripada orang yang mengatakan bahwa seseorang yang bekerja menjadi buruh di luar negri harus dihargai karena mereka telah menyumbang devisa kepada negara dan mencukupi kebutuhan keluarga di tanah air sehingga dapat meningkatkan perekonomian negara (pendekatan yang konsekuensialis) Jadi lain kali ketika berbicara dengan orang lain, ingat – orang menyukai seseorang yang mengikuti aturan moral. 

    Sunday, April 10, 2016

    Panama papers: seberapa sih bocoran data yang paling besar sedunia?

    Bocoran data dengan jumlah lebih dari 11,5 juta dokumen yang didapat dari kantor hukum di panama, yang secara khusus menjadi bandar pajak bagi orang-orang berduit dari seluruh dunia, tanpa diduga telah disadap dan menjadi bocoran data terbesar sepanjang sejarah. 

    Lebih dari 100 kantor berita diseluruh dunia telah mempublikasikan berita dengan sumber yang mereka sebut sebagai panama papers. Menurut jurnalis jerman, Suddeutsche Zeitung, orang yang pertama menerima bocoran data dengan jumlah 2,6 tera bit atau 2600 giga bit yang terdiri dari email, foto, dokumen pdf, file excel, dan database perusahaan, yang sebagian dibuat pada tahun 1970-an. 

    Panama papers ini menunjukkan sejumlah kekayaan yang tersembunyi di lepas pantai dari otoritas pajak yang dimiliki ribuan klien dari kantor hukum tersebut, yang didalamnya termasuk urusan bisnis, kriminal, pemimpin politik, bintang olahraga dan selebritis. Informasi ini akan terus dirilis seiring dengan penelusuran yang dilakukan para jurnalis. Tetapi data sebesar 2,6 terabit ini, sebenarnya seberapa besar bocoran data yang pernah ditemukan sepanjang sejarah kita?. 

    Menurut koran inggris The Guardian, 2,6 terabit panama papers ini terdiri dari sekitar 320.166 teks dokumen, 1,1 juta gambar, 2,15 juta file pdf, 3 juta database excel, dan 4,8 juta email. 
    Tetapi meskipun sekarang ini kita dapat memasukkan semua data itu dalam satu hardisk seharga satu juta rupiah, sangat sulit untuk memperkirakan seberapa banyak informasi yang tersimpan didalamnya. Berikut beberapa perkiraan perbandingan tentang isi data tersebut: 
    • Jika kita mencetak semua data sejumlah 2,6 terabit data digital dengan pengaturan keluaran 2-byte karakter, 2000 karakter di setiap halaman, hasil akhir pencetakan akan berjumlah 650 juta lembar halaman, yang jika dihitung satu kejadian disetiap lembar dalam satu tahun kebelakang kita akan sampai pada jaman purba. 
    • Diperkirakan akan memakan waktu selama lebih dari 41 tahun jika kita mencetak semuanya dengan printer laser kantor tanpa henti, yang kertasnya akan menghabiskan setara satu hutan kecil dengan 80.000 pohon dan lebih dari 81.000 kartrid toner printer. 
    • Seluruh dokumen yang telah dicetak akan seberat 3.200 ton, dan memakan tempat 708 meter kubik. Dan jika dibuat menjadi satu tumpukan kertas akan menjadi setinggi lebih dari 65.900 meter 
    • Untuk mendownload data sebesar itu membutuhkan waktu 252 hari dengan 24 jam waktu download per hari dan memakai server yang memiliki kecepatan transfer data lebih dari 1 Mbps. Dan jika menggunakan koneksi internet rumahan dengan kecepatan setengahnya maka akan membutuhkan waktu lebih dari 16 bulan. 
    Mengapa data nya sampai sebanyak itu? 

    Sampai sekarang, bocoran data yang paling banyak seperti dokumen yang dibocorkan oleh WikiLeaks pada 2010 tentang serangan udara di Baghdad dan dokumen rahasia NSA yang dirilis oleh Edward Snowden pada 2013, semuanya berdasarkan pada satu waktu yang singkat. Tetapi pelaku pembocoran yang telah mengakses data di komputer Mossack Fonseca, kantor hukum panama, ini telah mengirim dokumen ke jurnalis selama lebih dari setahun, sebagaimana yang dilaporkan oleh The Guardian. 

    11,5 juta dokumen dari Mossack Fonseca ini jumlahnya melebihi gabungan dari semua bocoran dokumen dari WikiLeaks, 60.000 dokumen sejak 2015 dari Swiss Leaks -yang merilis sejumlah besar skema pengaburan pajak, Luxembourg Leaks di tahun 2014 -yang berisi skandal keuangan di peraturan perpajakan luxembourg, dan Offshore Leaks di tahun 2013 -yang berisi penipuan pajak internasional, sesuai keterangan dari The Guardian. 

    Tetapi meski kelihatannya Panama Papers ini adalah bocoran data yang terbesar yang dilakukan sejauh ini, bisa jadi ini bukan pembobolan data yang terbesar sepanjang sejarah. 

    Menurut sebuah dokumen dari NSA yang dibocorkan oleh Snowden, pada tahun 2007 hacker cina telah mencuri 50 terabit data yang berisi dokumen rahasia dari militer amerika, termasuk didalamnya rencana F-35 Joint Strike Fighter, sebuah rancangan jet tempur. Dan pembobolan di Sony Pictures pada 2015, sebuah kelompok dari korea utara yang disebut “the Guardian of Peace” merilis 200 GB data yang di klaim total data yang telah dicuri adalah 100 TB, sebagaimana laporan dari CNN.

    Thursday, August 13, 2015

    mahasiswa vs dosen : tentang tuhan // versi 2


    ALKISAH, seorang profesor filsafat menantang mahasiswanya: "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”


    Seorang mahasiswa menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.



    “Tuhan menciptakan semuanya?”, tanya professor sekali lagi.



    “Ya, Pak, semuanya”, kata mahasiswa tersebut.




    Profesor itu menjawab, Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”




    Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab pernyataan professor tersebut.




    Seorang mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”




    "Tentu saja," jawab si professor, “itulah inti dari diskurus filsafat.”



    Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”


    "Tentu saja," ungkap si professor. Raut muka si professor tidak berubah karena ia sudah mendengar argumen buruk seperti ini berulang kali.



    Si murid menanggapi, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”


    Sang professor pun menjawab dengan tegas: "Kamu ingat bab mengenai kesesatan semantik dalam bukumu?"

    Si murid tampak bingung.

    "Biar saya ulangi secara singkat. "Panas" dan "dingin" adalah istilah subjektif. Menurut John Locke, keduanya merupakan contoh "kualitas sekunder". Kualitas sekunder merujuk kepada bagaimana kita merasakan suatu fenomena yang memang ada, dan dalam kasus ini pergerakan partikel atomik. Istilah "dingin" dan "panas" merujuk kepada interaksi antara sistem saraf manusia dengan variasi kecepatan dalam partikel atomik di lingkungan. Jadi apa yang sesungguhnya ada adalah suhu... istilah "panas" dan "dingin" hanyalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan pengalaman kita mengenai suhu."



    "Maka argumen Anda salah. Anda tidak membuktikan bahwa "dingin" itu tidak ada, atau bahwa "dingin" ada tanpa status ontologis, apa yang Anda lakukan adalah menunjukkan bahwa "dingin" adalah istilah subjektif. Hapuskanlah konsep subjektif tersebut, dan suhu yang kita sebut "dingin" akan tetap ada. Menghapuskan istilah yang kita gunakan untuk merujuk kepada suatu fenomena tidak menghapuskan keberadaan fenomena tersebut."




    Murid: (agak shock) "Uh... oke... em, apakah gelap itu ada?”




    Professor: "Anda masih mengulangi kesesatan logika yang sama, hanya kualitas sekundernya yang diganti."




    Murid: "Jadi menurut professor kegelapan itu ada?"




    Professor: "Apa yang saya katakan adalah bahwa Anda mengulangi kesesatan yang sama. "Kegelapan" adalah kualitas sekunder."



    Murid: "Professor salah lagi. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. “Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."


    Professor: “Gelap dan terang” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk mendeskripsikan bagaimana manusia mengukur foton atau partikel dasar cahaya secara visual. Foton itu memang ada, sementara “gelap” dan “terang” hanyalah penilaian subjektif kita... yang sekali lagi terkait dengan interaksi antara sistem saraf manusia dengan fenomena alam yang lain, yaitu foton. Jadi, sekali lagi, hapuskanlah istilah subjektif itu dan foton akan tetap ada. Jika manusia menyebut “foton sebanyak x” sebagai “gelap” sementara kucing menyebutnya “cukup terang untukku”, foton sebanyak x yang kita sebut sebagai “gelap” tetap ada, dan akan tetap akan ada walaupun kita tidak menyebutnya gelap. Sudah paham, atau masih kurang jelas?”



    Sang murid tampak tercengang.  Sang professor berkata, “Tampaknya Anda masih bingung dengan kesesatan dalam argumen Anda. Tapi silakan lanjutkan, mungkin Anda akan paham.”




    Sang murid berkata, “Professor mengajar dengan dualitas. Professor berargumen tentang adanya kehidupan lalu mengajar tentang adanya kematian, adanya Tuhan yang baik dan Tuhan yang jahat. Professor memandang Tuhan sebagai sesuatu yang dapat kita ukur.”


    Professor langsung memotong, “Berhati-hatilah. Jika Anda menempatkan Tuhan di luar jangkauan nalar, logika dan sains dan membuatnya “tak terukur”, maka yang tersisa hanyalah misteri yang Anda buat sendiri. Jadi jika Anda menggunakan dalih bahwa Tuhan ada di luar jangkauan untuk menyelesaikan masalah, Anda juga tak bisa mengatakan bahwa Tuhan Anda bermoral. Bahkan Anda tak bisa menyebutnya sebagai apapun kecuali tak terukur. Jadi solusi Anda tidak ada bedanya dengan membersihkan ketombe dengan memangkas rambut.”


    Murid tersebut tercengang, namun tetap berusaha melanjutkan, “Professor, sains bahkan tidak dapat menjelaskan sebuah pemikiran. Ilmu ini memang menggunakan listrik dan magnet, tetapi tidak pernah seorangpun yang melihat atau benar-benar memahami salah satunya..”

    Professor: “Anda mengatakan bahwa sains tak bisa menjelaskan pikiran. Saya sendiri kurang paham apa yang Anda maksud. Apakah Anda mencoba mengatakan bahwa masih banyak misteri dalam neurosains?”

    Murid: “Begitulah.”

    “Dan bahwa pikiran, listrik dan magnetisme itu kita anggap ada walaupun tak pernah kita lihat?”

    “Benar!”

    Sang professor tersenyum dan menjawab, “Bukalah kembali bukumu mengenai kesesatanfalse presumption. Perhatikan bab “kesalahan kategoris.” Kalau Anda pernah membacanya, Anda akan ingat bahwa kesalahan kategoris adalah saat Anda menggunakan tolak ukur yang salah untuk suatu entitas, misalnya menanyakan warna dari suara. Meminta seseorang melihat magnetisme secara langsung merupakan kesalahan kategoris.”

    “Namun, masih ada kesalahan lain dalam argumen Anda. Anda berasumsi bahwa empirisisme atau bahkan sains hanya didasarkan kepada pengamatan langsung. Ini tidak tepat. Penglihatan bukanlah satu-satunya cara untuk memahami dunia, dan sains juga bukan ilmu yang mempelajari apa yang kita lihat. Kita dapat menggunakan indera lain untuk melacak suatu fenomena. Dan kita juga dapat mempelajari pengaruh fenomena tersebut terhadap dunia.”

    “Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan menyatakan bahwa karena sains itu belum lengkap berarti Tuhan itu ada. Mungkin Anda perlu mempelajari kembali kesesatan “argumentum ad ignoratiam” atau argumen dari ketidaktahuan.”

    “Dan juga, seperti yang dikatakan oleh Neil deGrasse Tyson, gunakanlah contoh yang lebih baik karena sains sudah mampu menjelaskan bagaimana pikiran terbentuk dan bahkan Maxwell sudah lama menggabungkan elektrisme dan magnetisme menjadi elektromagnetisme. Contoh yang lebih baik itu misalnya materi gelap yang membuat perluasan alam semesta menjadi begitu cepat. Fisikawan tak bisa menjawab itu, dan mungkin Anda akan mengatakan jawabannya Tuhan. Namun dengan begitu, Anda justru sedang menyusutkan Tuhan. Anda melakukan kesesatan ad ignoratiam bahwa yang belum dijelaskan sains itu adalah keajaiban Tuhan, dan itu berarti Anda menempatkan Tuhan untuk mengisi gap dalam sains. Nah, dahulu manusia juga tak mampu menjawab mengapa hujan terbentuk atau mengapa gunung meletus, dan orang-orang dulu menyebutnya karena Tuhan. Kini kita sudah memahami hujan dan gunung meletus, begitu pula pikiran, listrik dan magnetisme, dan ke depannya materi gelap juga mungkin akan kita pahami. Dengan begitu Tuhan yang mengisi gap pun terus menciut.”


    “Masih ada yang mau ditambahkan? Apakah penjelasan saya sudah cukup jelas?”



    Sang murid tampak bingung dan mencoba melakukan ad nauseam, “Em...  kembali ke diskusi awal kita. Untuk menilai kematian sebagai kondisi yang berlawanan dengan kehidupan sama saja dengan melupakan fakta bahwa kematian tidak bisa muncul sebagai suatu hal yang substantif. Kematian bukanlah kontradiksi dari hidup, hanya ketiadaan kehidupan saja.”




    Professor pun berkata, “Apakah Anda jatuh cinta dengan kesesatan kualitas sekunder? Lagi-lagi Anda melakukan kesalahan yang sama.” “Kematian” dan “kehidupan” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan fenomena keadaan-keadaan biologis. Menghapuskan istilah subjektif kematian tidak menghapuskan keberadaan kematian.




    Si murid pun mencoba mengalihkan pembicaraan, “Apakah imoralitas itu ada?”




    Si professor menggelengkan kepalanya dan berkata, “Keledai pun tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama. Ada yang masih kurang jelas, atau perlu saya ulangi lagi?”




    Sang murid yang terus berusaha menjustifikasi kepercayaannya berkata, “Begini.. imoralitas itu adalah ketiadaan moralitas. Apakah ketidakadilan itu ada? Tidak. Ketidakadilan adalah ketiadaan keadilan. Apakah kejahatan itu ada? Bukankah kejahatan itu ketiadaan kebaikan?”




    Sang professor menanggapi, “Jadi, jika seseorang membunuh ibumu malam ini, tidak terjadi apa-apa? Hanya ada ketiadaan moralitas di rumah Anda? Tunggu... dia tidak mati... cuma ketiadaan hidup kan?”



    Si murid berkata, “eh...”


    “Sekarang sudah mengerti di mana salahnya?”, ujar sang professor, “Anda mencampur kualitas sekunder dengan fenomena. “Imoralitas” adalah istilah deskriptif untuk perilaku. Istilah tersebut bersifat sekunder, namun perilaku tetaplah ada. Jadi jika Anda menghapuskan kualitas sekunder itu, Anda tidak menghapuskan perilaku yang sesungguhnya terjadi. Dengan mengatakan imoralitas sebagai ketiadaan moralitas, Anda tidak menghapuskan keinginan atau perilaku imoral, tetapi hanya istilah subjektifnya. Begitu lho.”



    Si murid masih kukuh, “Apakah professor pernah mengamati evolusi itu dengan mata professor sendiri?”




    Sang professor sudah bosan mendengar argumen “pernah lihat angin tidak”.



    “Evolusi itu bisa diamati karena hingga sekarang masih berlangsung. Misalnya, pada tahun 1971, beberapa kadal dari pulau Pod Kopiste di Kroasia dipindah ke pulau pod Mrcaru. Pulau Pod Kopiste tidak banyak tumbuhan sehingga memakan serangga, sementara di pulau Pod Mrcaru ada banyak tumbuhan. Setelah ditinggal selama beberapa dekade, ketika ditemukan kembali, kadal di pulau Pod Mrcaru mengalami proses evolusi. Kadal tersebut mengembangkan caecal valve, yaitu organ yang penting untuk mengolah selulosa dalam tumbuhan, yang sebelumnya tidak ada. Atau, jika Anda pergi ke laboratorium Richard Lenski di Amerika Serikat, Anda bisa saksikan sendiri bagaimana bakteri e coli yang sebelumnya tak bisa mengolah asam sitrat, karena evolusi dengan seleksi alam muncul e coli yang bisa mengolah asam sitrat.”




    "Lagipula, Anda lagi-lagi terjeblos dalam kesesatan ad ignoratiam. Jika ingin konsisten dengan logika Anda, Anda akan mengatakan bahwa pohon tidak pernah tumbuh karena Anda tak pernah melihat langsung bagaimana pohon tumbuh. Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan mengasumsikan bahwa sains itu hanya terdiri dari pengamatan langsung.... “


    Si murid memotong, “Apakah ada dari kelas ini yang pernah melihat otak Profesor? Apakah ada orang yang pernah mendengar otak Profesor, merasakannya, menyentuhnya atau menciumnya? Tampaknya tak seorang pun pernah melakukannya. Jadi, menurut prosedur pengamatan, pengujian dan pembuktian yang disahkan, ilmu pengetahuan mengatakan bahwa professor tidak memiliki otak. Dengan segala hormat, bagaimana kami dapat mempercayai pengajaran professor?”

    Si professor tertawa dan menjawab, “Terima kasih sudah hadir di kelas ini sehingga saya bisa membenarkan kesalahan Anda walaupun Anda terus menerus mengulanginya. Sekali lagi, sains itu tidak terbatas kepada “melihat” sesuatu. Sains itu juga rasional. Kita dapat menyimpulkan berdasarkan bukti yang ada. Dan salah satu simpulan yang dapat saya tarik dengan mengamati perilaku Anda  hari ini adalah bahwa Anda telah membuang-buang uang karena tidak membaca buku logika yang sudah Anda beli. Jadi saya sarankan bacalah buku itu kembali dari halaman satu agar tidak terus menerus mengulangi kesalahan yang sama.”


    - Dan murid itu adalah orang yang tidak banyak membaca.
    sumber: source